Subscribe:Posts Comments

You Are Here: HomeGunung � Melewati Keganasan Gunung Ceremai

Kecelakaan di gunung, terperosok ke jurang, hypothermia, dan hilang di gunung menjadi topik utama pemberitaan beberapa bulan terakhir. Sebenarnya hal apa saja yang bisa menyebabkan hal tersebut terjadi? Bagaimana menghadapi permasalahan tersebut apabila menimpa diri kita?—Pertanyaan semacam inilah yang sering muncul dari benak para penggiat alam bebas. Pesan yang tersampaikan melalui media itu, hanya memberitahukan kalau mendaki gunung itu berbahaya dan membutuhkan persiapan yang matang. Untuk para pemula, kadang sangat sulit untuk mendekripsikan persiapan seperti apa yang dapat dinilai aman sebagai seorang pendaki gunung. Dengan berbagai kondisi alam yang sangat sulit untuk ditebak.

Dalam beberapa kasus terakhir, yang terjadi dalam waktu yang berdekatan. Sangat hangat sekali terpublikasi ke umum mengenai bahaya dan dampaknya. Mulai dari meninggalnya seorang pendaki saat kegiatan Napak Tilas Soe Hoek Gie di Gunung Semeru. Kemudian, selang beberapa minggu terdengar dua pendaki di gunung Lawu tewas akibat kelelahan dan faktor cuaca buruk. Hingga kasus terakhir yang terjadi yakni tersesatnya 5 pendaki di gunung Ceremai.

Ada dua faktor yang menyebabkan semua hal tersebut terjadi. Faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal, dalam hal ini lebih kepada keadaan medan dan kondisi alam serta cuaca saat pendakian berlangsung. Sedangkan, untuk faktor internal, lebih membahas semua yang berhubungan dengan persiapan dan perencanaan para pendaki.

Persiapan perjalanan meliputi, kesiapan fisik pendaki, perlengkapan pendakian, peralatan pendakian, dan kebutuhan konsumsi selama proses pendakian serta kemampuan akan pemahaman medan pendakian. Persiapan perjalanan atau sebuah perencanaaan yang matang terhadap sebuah perjalanan, menjadi faktor penentu sukses atau tidaknya suatu perjalanan tersebut. Setidaknya kita sudah memegang sebagian keberhasilan sebuah perjalanan. Selebihnya hanya tinggal pelaksanaan dilapangan dengan berbagai kondisi alam.

Inti dari persiapan perjalanan adalah bagaimana kita mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan yang akan kita lakukan nanti. Dengan berbagai kondisi alam yang sangat sering kali berubah dan sulit untuk di tebak. Agar selama kegiatan, kita dapat merasa siap dengan segala kondisi, aman dan merasa nyaman. Sehingga, kita dapat menikmati kegiatan yang akan kita lakukan.

Kami mendaki gunung pada saat yang bersamaan dengan hilangnya pendaki di gunung Ceremai. Bahkan, sebelum kebarangkatan kami sempat mendapatkan kabar dari media massa yang memaparkan tentang kewaspoadaan terhadap gunung-gunung di Jawa. Dikatakan pula, dapat terjadi cuaca yang lebih buruk dari sebelumnya. Hal tersebut, sempat membuat perjalanan kami menjadi gagal.

Padahal kami sudah mempersiapkan perencanaan pendakian gunung Ceremai sejak dua minggu yang lalu. Mulai dari pengumpulan tim pendakian, latihan, plotting peta, rencana konsumsi, rundown kegiatan, riwayat medis tim pendakian, serta peralatan dan perlengkapan pendakian. Kami memutuskan akan tetap melakukan pendakian pada 1 Januari 2010 hingga 3 januari 2010, melewati desa Payung dan berakhir di desa Apuy, kabupaten Majalengka. Rute ini merupakan bukan rute umum yang biasa dibuka pendakian. Rencana kami akan membuka jalur, dalam rangka pembelajaran navigasi bagi anggota baru Mapala UI.

Keberangkatan dimulai pada jam 17.30 WIB pada hari kamis 31 Desember 2009. Kami memutuskan untuk menumpangi kereta ekonomi yang melewati stasiun Cirebon. Dengan alasan, untuk menghindari kemacetan akibat pesta pergantian Tahun nanti malam. Dua hari sebelumnya, kami sudah mengutus tim pendahulu, untuk mengurus perizinan turun di desa Apuy, sekaligus bertugas menjemput tim besar besok pagi di Terminal Rajagaluh.

Kami tiba di staiun Cirebon pukul 02.00 dinihari. Kemudian, kami lanjutkan dengan mencarter mobil angkot langsung ke terminal Rajagaluh seharga 85 ribu. Di terminal Rajagaluh, sudah menunggu dua orang rekan kami Gigih dan Bang Lelon (61 th) salah satu pendaki yang paling tua diantara kami. Perjalanan yang cukup melelahkan, kami pun harus rela berhimpit-himpitan dengan ransel besar-besar di dalam angkot.

Ransel besar kami pindahkan ke mobil colt, yang sudah kami carter hingga desa terakhir di desa Saderehe. Untuk mencapai lokasi entry point, hany dapat di lalui dengan mencarter karena tidak adanya angkutan umum kesana. Mobil colt tersebut, sudah terbiasa lalu lalng hingga ke batas hutan dengan daerah perkebunan. Jalan menuju desa Sadarehe sangat tidak bersahabat, kondisi jalan banyak berlubang. Namun, begitu menyenangkan melihat kondisi perkebunan di pagi hari.

Kami tiba di desa terakhir pukul 06.00 pagi, kemudian kami lanjutkan dengan berjalan kaki menuju warung terakhir di desa Sadarehe. Sebenarnya dari desa Sadarehe terdapat jalur pendakian yang sudah terbuka lebar. Namun, jarang sekali yang mendaki melalui jalur tersebut. Jalur resmi pendakian menuju puncak Ceremai, hanya dapat dilalui oleh jalur Palutungan di Kuningan, Jalur Apuy di desa Apuy, dan Jalur linggar Jati di Cirebon.

Dari warung tersebut, kami harus berjalan sekitar satu kilometer untuk sampai ke entry point jalur pendakian yang sudah kami plot di peta. Tepatnya pada koordinat 06°51’07.9” LS, 108°23’21.8” BT dengan ketinggian 1200 mdpl. Untuk dapat melakukan pendakian dengan buka jalur, kami pun harus mempersiapkan perlengkapan pendukung navigasi. Selain, peta dan kompas kami pun mempersiapkan GPS (Global Positioning Systems).

Setelah sarapan pagi, kami memulai pendakian. Dari warung mengarah ke entry point dengan arah kompas 110 – 120 derajat. Sekitar setengah jam berjalan kaki. Kami melewati perkebunan sayuran, dan harus menyebrang sungai kecil. Hingga kami bertemu dengan sungai selanjutnya. Kami menanyakan kepada penduduk, bahwa itu sungai Ciwaringin, sangat sesuai dengan tanda alam yang tertera di dalam peta Bakorsurtanal dan peta Dittop TNI AD yang kami bawa. Kami memastikan posisi kami dengan menggunakan GPS, dan ternyata kami berada tepat pada entry point kami.

Setelah orientasi medan dan benar-benar yakin kami berada pada pisisi yang benar. Kami mengarahkan kompas kami ke arah punggungan jalur yang sudah kami plot. Pada arah kompas 170 – 180 derajat, dan sangat terlihat arah punggungan mengarah ke puncak Ceremai sama dengan yang tertera pada peta.

Jalur di depan kami sangat rapat dengan semak belukar. Sepertinya, memang belum pernah dilewati oleh pendaki maupun penduduk yang mencari kayu. Kami membuka jalur dengan usaha yang keras untuk dapat menembus jalur tersebut, dan mencapai target kami hari ini pada ketinggian 2300 mdpl. Pembagian tugas pun dilakukan, tim dibagi menjadi tiga yakni tim leader, tim middle, dan tim sweaper. Hal ini kami lakukan, agar terdapat kejelasan pembagian tugas serta mempermudah untuk pergantian tugas membuka jalur yang cukup mengurus tenaga nantinya. Setiap jam, posisi tersebut akan berubah.

Menurut informasi yang kami dapatkan dari penduduk, dalam beberapa minggu terakhir sering kali turun hujan. Istilah yang kami dapatkan dari mereka Dukcur (Beduk ngucur). Jadi, setelah jam beduk adzan djuhur sudah dapat dipastikan akan turun hujan. Kami sudah mengantisipasi hal tersebut, agar perjalanan kami tidak terhambat karena hujan. Kami sudah mempersiapkan jas hujan dan payung.

Hari ini target kami tidak tercapai, ternyata medan yang kami lalui begitu rapat dengan semak belukar. Sehingga memperlambat pergerakan. Altimeter menunjukan 1920 mdpl, di tempat camp pertama kami atau pada koordinat 06°52’11.7” LS, 108°23’48.9” BT. Berarti, banyak PR yang harus kami selesaikan esok hari. Jalur yang sudah kami buka ternyata bertemu dengan jalur pendakian yang sudah terbuka dengan lebar. Hal ini sangat membantu kami, hingga kami dapat mencapai ketinggian tersebut.

Keesokan harinya, kami mulai berangkat pukul 10.00 WIB. Pembagian tim sama seperti yang telah kami lakukan kemarin. Pendakian hari ini akan lebih mudah dibanding yang kemaren, karena jalur pendakian sudah terlihat jelas. Kendalanya tentu berbeda juga, kali ini kendali kamiadalah faktor ketinggian. Semakin tinggi kami mendaki, akan semaki rendah tekanan udara yang ada. Sehingga, sedikit mengganggu pernafasan.

Baru beberapa menit berjalan, langit sudah mulai mendung. Semua anggota tim pendakian mengeluarkan jas hujan dan payung. Perjalanan akan kami terus lanjutkan hingga target kami tercapai. Semakin tinggi jalur yang kami lwati, bentuk dan jenis pohon yang ada pun terlihat bedanya. Pohon-pohon sudah meulai berlumut, dan tingginya pun tidak melebih dari 5 meter. Artinya kami semakin mendekati puncak. Altimeter menunjukan pada ketinggian 2700 mdpl, saat kami makan siang pada pukul 14.00 WIB.

Perjalanan kami lanjutkan kembali. Kami semaki mendekati puncak, sudah tercium bau belerang. Pertanda sudah dekat dengan kawah gunung Ceremai. Pada pukul 17.30 kami sampai di puncak utara gunung Ceremai, yakni puncak Sunan Mataram pada ketinggian 3058 mdpl. Kemudian, kami mendirikan tempat camp tidak jauh dari puncak tersebut. Untuk menghindari terpaan angin kencang, dan ancaman gas H2S. Kami sangat waspada terhadap kedua hal tersebut, tidak sedikit kematian di gunung karena hal tersebut.

Kami harus segera bergerak, dan target adalah akan pulang pada hari ini. Kami harus melipiri bibir kawah, untuk mencapai puncak titik triangulasi pada ketinggian 3078 mdpl. Posisinya pada arah 230 -240 derajat dari posisi camp kami atau puncak mataram. Rupanya Tuhan sangat mendukung kami. Pagi ini kami diberi cuaca yang sangat cerah. Langit terlihat sangat biru. Pandangan kami sangat luas dan tak terhalang oleh kabut seperti hari sebelumnya. Pemandangan yang sangat luar biasa ketika berada di puncak. Saya jadi teringat kata-kata dari seorang pujangga Khalil Ghibran, yang berisikan “ketika kita berada pada puncak tertinggi, kita akan merindukan suasana dataran di bawah sana”.

Kami hanya sebentar di puncak Ceremai, pemandangan yang kami dapatkan cukup membalaskan jerih payah dan usaha kami kemarin selama pendakian. Dan kami harus pulang.

Kami menuruni punggungan yang mengarah pada 270 – 280 derajat pada kompas. Arah ini mengarah ke desa Apuy. Secara perlahan kami menuruni punggungan yang hampir serupa dan sempat membingungkan. Semakin menjauhi puncak, muncul keanehan. Jalur yang kami lalui semakin rapat dengan semak belukar. Setelah kami cek GPS, ternyata benar kami terbanting ke punggungan sebelah ploting jalur sebenarnya. Untuk balik lagi ke atas puncak, sudah terlewat jauh. Akhirnya kami memutuskan untuk melanjutkan penurunan punggungan tersebut. Dengan harapan punggungan tersebut berakhir ke desa Apuy juga sama seperti jalur ploting kami di peta.

Namun, keputusan kami saat itu tidak tepat. Jalur yang kami lewati semaki lebat dengan semak belukar, dan juga lengkap dengan duri. Putus harapan kami untuk sampai ke desa hari ini. Waktu sudah menunjukan pukul 17.00 WIB, dan kami masih jauh dari batas hutang dengan perkebunan. Masih skeitar 2.5 km lagi jika kita melihat di peta. Artinya, kami harus bermalam kembali di hutan.

Keadaan geografi di gunung Ceremai memang sangat rumit. Dibutuhkan navigasi yang advance untuk dapat melewatinya. Meleset sedikit arah kompas, dapat berujung apda jurang. Banyak sekali kita temukan lekukan punggungan kecil di dalam peta, dan itu akan menjebak kita. Tidak heran, banyak kasus orang hilang di daerah ini.

Hal tersebut benar adanya. Kami terhadang oleh punggungan yang berakhir pada jurang. Kami terpaksa menuruni jurang tersebut. Dengan tangan dan kaki penuh luka sobek akibat semak-semak berduri. Jarak yang kami tempuh pun sangat tidak significant dan jauh dari harapan. Dalam waktu setengah hari kami hanya mampu menempuh sepertiga jalur turun. Kami terpaksa flying camp dan bermalam di tengah hutan.

Untuk kegiatan pendakian seperti ini, sangat dibutuhakan persiapan yang baik. Tidak ada yang dapat menebak, segala sesuatu yang terjadi di alam. Sama seperti halnya kami, yang terbanting pada punggungan yang salah. Terpaksa kami harus menambah hari. Untung saja kami membawa perbekalan lebih untuk satu hari kedepan.

Perjalanan kami lanjutkan keesokan harinya. Kami harus dengan cepat keluar dari hutan. Menurut perkiraan kami, untuk sampai ke desa yang berjarak 2.5 membutuhkan waktu 2 sampai 3 jam. Suara kendaraan dari arah desa sudah terdengar sejak tadi malam. Sepertinya jaraknya tidak terlalu jauh.

Kondisi medan tidak jauh beda dengan sebelumnya. Semak belukar berduri menjadi penghambat utama kami dalam membuka jalur. Dibutuhkan pula akurasi arah kompas, untuk menghindari kami terbanting lagi. Ternyata hal tersebut terjadi lagi, sangat tipis akurasinya hanya berbeda 250 derajat dengan 260 derajat. Ini sangat fatal sekali. Perjalanan kami benar-benar berujung pada jurang dalam, yang sangat sulit dituruni, bisa-bisa kami terjebak dan akan terlambat lebih parah lagi.

Sebelumnya, kami menemukan selang air yang kemungkinan pasti mengantarkan kami ke desa. Akhirnya, kami kembali ke posisi selang tersebut yang jaraknya tidak terlalu jauh dari ujung jurang yang kami lewati. Selang tersebut, harus menyebrangi lembah yang tidka terlalu dalam. Pikir kami sebelumnya, kami tidak ingin menyebrangi selang tersebut, karen akemungkinan punggungan kami benar. Namun, mau tidak mau pilihan terbaik adalah menyebrangi sungai dan mengikuti jalur selang air.

Harapan kami ternyata benar. Selang air tersebut, memang mengantarkan kami ke pedesaan. Selang tersebut merupakan sumber air penduduk yang di ambil dari sumber mata air pegunungan. Sebuah perjalanan yang begitu menegangkan. Ternyata memang benar, sebuah persiapan yang baik merupakan kunci sukses sebuah perjalanan. Setidaknya, kita akan siap dengan segala kondisi apapun. Suatu kenikmatan yang tidak dapat dirasakan oleh semua orang, ketika kita berhasil melewatkan sebuah permasalahan yang rumit.

Penulis: Jamaludin

Fotografer: Prihandoko

Tim Pendakian: Bang Lelon, Rizki Apriono (tumpeng), Annisa Rahmania, Fituri, Hizkia, Ira, Ade Lontong, Gigih, Yoyo, Yudhi, Restu, Florentinus

Tags: Gunung

0 komentar

Leave a Reply